Jumat, Juni 05, 2009

Lemon, Prita, dan Penjara


Tiba-tiba muncul di penjara wanita Tangerang. Dialah Prita Mulyasari. Ia perempuan biasa, bukan anggota geng pembawa sabu-sabu, bukan pula pembunuh.

“Dosa”–sebenarnya tak bisa dibilang begitu walau sudah diberi tanda kutip–yang ia lakukan adalah memunculkan nama Rumah Sakit Internasional Omni Hospital, Serpong, Tangerang, pada sebuah mailing list (milis). Gara-gara mengeluhkan layanan rumah sakit itu di sebuah milis, Prita “dititipkan” di penjara. Dia juga diancam hukuman penjara maksimal enam tahun dan atau denda maksimal Rp 1 miliar. Duh.

Ia dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang isinya, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Petaka ini tak dimulai dari titik nol. Kisah sedih itu bermula ketika Prita menuliskan keluhannya ketika dirawat di Unit Gawat Darurat RS Omni Internasional pada 7 Agustus 2008. Surat yang semula hanya ditujukan ke sebuah milis tersebut ternyata beredar ke pelbagai milis dan forum di Internet. Pengelola rumah sakit itu, PT Sarana Mediatama Internasional, gusar dan melontarkan gugatan. Mereka juga memasang iklan untuk membersihkan nama.

Seorang teman saya yang tiap pekan membolak-balik buku-buku hukum menelusuri kasus-kasus top Tanah Air ini ikut-ikutan gusar. “Ini parah,” katanya. “Pasal pencemaran nama baik itu biang persoalan karena bisa ditarik-tarik seperti karet ke mana saja.” Persis zaman Orde Baru.

Soal pasal karet, pasal logam, atau pasal kayu, saya memang tak paham. Tapi begitukah cara orang menerima kritik? Dunia macam apa ini, mengapa orang Indonesia gemar sekali menggugat bila ada konsumennya yang mengeluh? Apakah rumah sakit itu sudah kehabisan teori pemasaran atau lupa membuka kitab-kitab lama pemasaran Philip Kotler? Sedikit keluhan lalu dijawab dengan gempuran gugatan? Bahkan warung nasi Padang pun punya cara yang lebih santun untuk mendengarkan keluhan pelanggannya.

Betapa kontrasnya cara itu dengan kasus keluhan Jeff Jarvis terhadap komputer Dell. Jarvis bukan orang biasa. Dia profesor di University of Michigan. Tulisan-tulisan dia di blog pribadinya, BuzzMachine.com, banyak dinanti orang.

Karena kecewa terhadap layanan purnajual laptop Dell, Jarvis menulis surat terbuka kepada pendiri Dell, Michael Dell. Judulnya “A Lemon”. Seperti judulnya, yang berarti brengsek atau jeruk limun, Jarvis menuliskan kekecewaannya karena ia dipingpong selama berbulan-bulan saat ingin membetulkan laptopnya. Padahal dia sudah membeli layanan tambahan berupa kupon servis Dell.

“Intinya, kupon murah telah memikat saya membeli sebuah komputer Dell, tapi produk Anda adalah ‘a lemon’ dan bukan Apple (pesaing Dell). Layanan konsumen Anda menjengkelkan.”

Kekecewaan Jarvis ini ternyata tak berhenti di blognya belaka. Seperti keluhan Prita, kekecewaan itu terus tersebar ke berbagai blog dan milis. Beberapa pengunjung blog menulis sindiran, “Dude, get Apple.” Dell pun makin terguncang karena media konvensional seperti Business Week pun ikut-ikutan meramaikan kasus tersebut. Bahkan situs berita raksasa seperti BusinessWeek juga menulis kasus itu.

Manajemen Dell panik. Namun, mereka tak gusar. Sejak itu mereka menyewa belasan orang khusus untuk memantau keluhan terhadap Dell. Tujuannya bukan untuk menggugat orang yang mengeluh, melainkan ingin mendapat masukan untuk memperbaiki produk dan layanannya. Bahkan dari cara ini mereka bisa melahirkan produk-produk baru.

Mengapa banyak orang Indonesia tak sesantun Michael Dell, ya? Apakah CEO yang tak lulus kuliah itu santun justru karena tak pernah ikut penataran P-4, ya?
Prita, RS Omni, UU ITE

Burhan Sholihin

http://blog.tempointeraktif.com/nasional/lemon-dan-penjara/

Kasus Prita : UU ITE vs UU Perlindungan Konsumen




Kasus yang menimpa Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang dijebloskan ke penjara akibat tindakannya menuliskan keluhan yang dialaminya di surat pembaca elektronik, ternyata berhadapan dengan Undang-Undang ITE. Sementara UU Perlindungan Konsumen ternyata tidak dipakai.

Prita Mulyasari dituntut oleh RS Omni International karena dianggap melakukan pencemaran nama baik. Tidak hanya itu, Prita juga dijerat pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 27 ayat 3 merupakan pasal yang sempat diajukan oleh komunitas blogger ke meja Mahkamah Konsititusi (MK) untuk dicabut, karena dianggap sebagai pasal karet yang bisa digunakan oleh penguasa untuk mengekang kebebasar berekspresi di internet.

Ternyata, pasal ini sudah memakan 2 korban. Pertama, Narliswandi Piliang atau Iwan Piliang, seorang citizen journalist yang dituntut oleh politisi Alvin Lie. Korban kedua, adalah Prita Mulyasari yang dituntut oleh RS Omni International. Padahal, Menkominfo M Nuh telah menegaskan komitmennya bahwa UU ITE bukanlah alat untuk mengekang kebebasan berekspresi di internet.

Kenyataannya, pasal 27 ayat 3 seakan menjadi "amunisi tambahan" bagi pasal pencemaran nama baik yang biasanya hanya ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Prita adalah contoh nyata, bagaimana pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut dipergunakan. Padahal, yang dilakukan oleh Prita adalah menulis keluhan dan menyatakan haknya untuk komplain sebagai seorang konsumen. Tindakan Prita ini sebenarnya telah dijamin oleh UU Perlindungan Konsumen. Namun, patut dipertanyakan mengapa UU Perlindungan konsumen tidak dipergunakan dalam kasus ini.

Seberapa besar sebenarnya pengaruh UU ITE dibanding UU Perlindungan Konsumen? Tentu tidak dapat dibandingkan. Namun, jika bicara fakta, UU Perlindungan Konsumen termasuk yang paling jarang diimplementasikan. Justru UU ITE yang baru berusia muda sudah mampu membuat seorang Prita yang hanya seorang ibu rumah tangga ditahan dan bahkan diperpanjang penahanannya.

Komunitas pengguna internet pun tidak tinggal diam. Gerakan dukungan terhadap Prita di dunia maya mulai melebar tidak hanya di milis, blog, bahkan hingga situs jejaring sosial seperti facebook juga mulai bermunculan. Upaya ini dilakukan untuk meluruskan prinsip yang digunakan dalam UU ITE. Karena, pasal 27 ayat 3 tersebut seharusnya dimaknai sebagai upaya perlindungan, bukan malah dijadikan alat untuk menyerang seperti yang dilakukan oleh RS Omni International dalam kasus Prita tersebut.

Komunitas pengguna internet memandang bahwa surat elektronik yang ditulis oleh Prita tersebut seharusnya disikapi sebagai sebuah komplain dari konsumen kepada RS Omni International, dan tidak ada unsur pencemaran nama baik. Kecuali, jika Prita bukanlah konsumen dari RS Omni International.


Yunus Bani

http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=14495&post=1